Apakah kamu member?

PETUALANGAN DI MAWAS (EPS2), DARI MANTANGAI KE TUANAN

Keesokan harinya, 12 Januari 2013, kami berangkat dari Camp Mantangai setelah sarapan. Berjalan tak jauh ke dermaga terdekat, speedboat sudah menanti kami. Selama beberapa hari ke depan, perjalanan akan dihabiskan di sepanjang sungai!

Tujuan kami hari ini adalah Camp Tuanan, tapi sebelumnya kami akan berkunjung sebentar ke masyarakat Desa Katunjung. Setelah melakukan perjalanan dengan speedboat selama sekitar satu jam, kami tiba di Desa Katunjung, desa tepi sungai yang indah, pada pukul 9.35 pagi. Kami menuju ke kediaman Pak Sugiat, anggota Badan Permusyawaratan Desa yang juga aktif terlibat dengan Mawas dan Tim KFCP dalam sosialisasi, perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan gambut baik di dalam maupun di sekitar desa. Kami menghabiskan sekitar satu jam untuk mendengarkan Pak Sugiat dan timnya yang terdiri dari masyarakat setempat, serta Sirajudin – Tim Mawas yang ditunjuk sebagai penanggungjawab kegiatan di Desa Katunjung – untuk menyampaikan kepada kami mengenai kegiatan terbaru, sekaligus tantangan dan harapan mereka.

Gudang Penimbunan Batubara di Tanjung Kalanis
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, saya akan menulis lebih detail tentang kegiatan rehabilitasi lahan gambut nanti. Saat ini, mari kita lanjutkan perjalanan kita! Kami melompat kembali ke speedboat dan langsung menuju ke Tuanan. Namun, Tim Mawas yang menemani saya memutuskan untuk mengambil sedikit jalan memutar. Melewati Desa Tuanan, kami pergi sedikit lebih jauh ke hulu, ke daerah yang disebut Tanjung Kalanis. Tim ingin memperlihatkan kepada saya sebuah lokasi gudang penimbunan batubara di Tanjung Kalanis. Lokasi gudang penimbunan ini terbilang baru dan telah menjadi perhatian bagi para pemerhati lingkungan dan kolaborator kami di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan.

Gudang penimbunan adalah sebuah tempat persiapan, di mana batu bara dibersihkan atau dipisahkan dari tanah dan batuan lainnya, untuk kemudian dipasarkan. Perusahaan pemiliknya tampaknya telah menyatakan keinginannya untuk memperluas atau setidaknya membuat lokasi gudang penimbunan ini lebih mudah diakses dengan membuka jalan melalui hutan. Jika rencana ini dijalankan, itu jelas akan mengancam kegiatan konservasi di Mawas, khususnya di Tuanan dan sekitarnya.

Pada saat ini kami tidak mengetahui sejauh mana status rencana ekspansi ini dijalankan (apakah proposal telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah atau bahkan tengah dipertimbangkan untuk disetujui). Tapi kami tidak akan menutup mata pada masalah ini sementara kami berusaha memastikan kepada Pemerintah bahwa daerah Mawas tetap tidak akan tersentuh oleh industri, terutama karena Mawas sekarang telah dinyatakan oleh Pemerintah sebagai Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi (KSA/KPA).

Desa Tuanan
Berlabuh di dermaga kecil di Desa Tuanan – desa tepi sungai yang lain – kami menunggu di rumah seorang warga desa untuk meminjam gerobak dorong menuju camp sehingga barang-barang kami dapat diangkut dengan mudah. Perjalanan menuju camp harus ditempuh sejauh 2 kilometer dengan berjalan kaki dari desa dan teman-teman kami di camp memiliki ide bagus dengan menyediakan kami gerobak dorong sehingga kami tidak perlu membawa ransel berat kami. Terletak 64 kilometer di sebelah timur kota Palangka Raya, Tuanan adalah desa yang indah berselimut pasir putih. Rasanya hampir seperti berada di pantai!

Sambil menunggu, Tommy dan Sofi membawa saya ke satu-satunya sekolah di desa ini. Ini adalah sebuah sekolah dasar yang sudah lama didirikan oleh Yayasan BOS. Saat ini, sekolah ini dikelola oleh pemerintah dan didanai oleh donor independen. Namun, Tim Tuanan masih sesekali memberikan bantuan berupa pendidikan lingkungan bagi anak-anak. Sofi adalah salah satu guru yang menyediakan layanan pendidikan seperti itu di sekolah ini.

Baca juga: PETUALANGAN DI MAWAS (EPS1), PALANGKA RAYA KE CAMP MANTANGAI


Siap naik speedboat (kiri ke kanan: Tommy, Sofi, Pak Odom, Pak Sungkono) oleh Rini Sucahyo

Desa Katunjung yang asri oleh Rini Sucahyo

Lokasi penimbunan batubara di Tanjung Kalanis oleh Rini Sucahyo

Dusun Tuanan yang berpasir putih oleh Rini Sucahyo

Anak-anak Dusun Tuanan berpose di depan sekolahnya oleh Rini Sucahyo

Jalur yang cukup santai dari Dusun Tuanan hingga Camp oleh Rini Sucahyo

Selamat datang di Stasiun Penelitan Orangutan Tuanan! oleh Rini Sucahyo

Jalan sempit dari kayu di Tuanan oleh Rini Sucahyo

Sulit sekali memotret owa oleh Rini Sucahyo

Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan
Kemudian, saya terkejut oleh perjalanan sejauh 2 kilometer ke camp. Saya pikir perjalanan ini akan terasa menyiksa dan membuat saya terengah-engah kepayahan. Sebaliknya, ini justru menjadi perjalanan santai yang menyenangkan melewati vegetasi lahan gambut yang khas. Angin sore menjadi bonus selamat datang. Kami sampai di camp kurang dari satu jam. Waktu makan siang telah berlalu, tetapi mengetahui kami belum makan siang, Oli, staf dapur kami di Camp Tuanan, dengan sigap memasak dan menyajikan kepada kami mie goreng dan telur dadar yang kami bagi dengan Alysse, seorang peneliti biologi dari Florida.

Camp Tuanan atau yang dikenal sebagai Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan dibangun oleh Yayasan BOS pada tahun 2002. Di sini kami berkolaborasi dengan P. Carel van Schaik dan Maria van Noordwijk dari University of Zurich, serta Dr. Sri Suci Utami dan Drs. Tatang Mitra Setia dari Universitas Nasional di Jakarta sejak tahun 2003. Penelitian berfokus pada perilaku orangutan liar serta dampak dari degradasi habitat orangutan dalam keanekaragaman hayati khususnya dan lainnya pada umumnya. Hasil penelitian diharapkan untuk memperdalam pemahaman kami tentang orangutan dan habitat alami mereka, yang pada gilirannya akan memberi pengetahuan yang diperlukan untuk menjalankan program reintroduksi orangutan dan program restorasi habitat.

Tommy, Kurniawan dan saya pergi sebentar untuk berjalan dan melihat-lihat di sore hari. Kami berjalan di sebuah jalan sempit dari kayu sempit yang panjangnya 3,2 kilometer untuk menghubungkan Camp Tuanan ke camp kami yang lain, Camp Bagantung, yang akan saya kunjungi besok.

Sayangnya, saya tidak menemukan orangutan pada perjalanan singkat sore itu. Orangutan liar umumnya sulit untuk ditemukan karena secara naluriah mereka akan menghindar begitu melihat manusia, terutama orang asing seperti saya yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Perilaku seperti inilah yang kami harapkan pada orangutan kami yang berhasil direhabilitasi. Selain itu, kunjungan saya adalah akhir musim buah sehingga secara alami orangutan telah melakukan perjalanan jauh ke dalam hutan untuk mencari makanan. Tommy mengatakan bahwa jika kami kembali pada bulan November, di puncak musim buah, akan sangat mudah menemukan mereka. Sepertinya saya hanya harus datang kembali di musim yang tepat!

Saya mencoba peruntungan saya lagi di pagi hari dengan melihat-lihat ke dalam hutan bersama Pak Odom. Namun, masih tidak ada tanda-tanda orangutan, tetapi saya menemukan enam owa bermain di pepohonan sambil sesakali berhati-hati mengawasi kami. Mereka selalu bergerak sehingga begitu sulit untuk menangkap mereka di depan kamera!

Saya hanya sebentar tinggal di Tuanan namun begitu berkesan. Camp ini lebih besar dari Camp Mantangai. Ada lebih banyak kamar, dua kamar mandi dengan air jernih menyegarkan dan ruang makan semi-outdoor yang luas, yang memungkinkan saya untuk menggantung hammock saya di sana. Tak perlu dijelaskan, saya menghabiskan malam dengan tidur di hammock, bukan di kamar – terlepas dari fakta bahwa beruang madu dan macan dahan kadang-kadang masuk ke camp untuk mencari sisa-sisa makanan. Dengan senang saya menceritakan bahwa saya tidur nyenyak sepanjang malam tanpa dicolek oleh beruang madu atau dicakar oleh macan dahan.

Kegiatan di Camp Tuanan akan menjadi cerita kedua yang akan saya bagi dengan Anda secara lebih rinci dalam beberapa minggu ke depan. Nantikan petualangan lebih dalam di Mawas, yang akan diterbitkan besok di "Petualangan di Mawas - Bagian 3".




Menurutmu orang lain perlu tahu? Bagikan!

image image image

CATATAN!



OK

YA, AMPUN!



Tutup