YUYUN: PERJALANAN PULIH DARI PENYAKIT MENUJU RUMAH BARUNYA
Yuyun adalah orangutan yang sudah lama menghuni Pulau #0 di Samboja Lestari bersama teman sesama orangutan, Jeffrey.
14 Januari 2013. Menghabiskan hanya semalam di Camp Rilis tidaklah cukup. Saya sangat menyesal harus meninggalkan tempat ini keesokan paginya. Terlepas dari kenyataan tidak adanya koneksi internet di sini (tapi masih bisa mendapatkan sinyal telepon di titik-titik tertentu, dengan syarat harus berdiri diam, dan jangan bergeser sesenti-pun), saya pikir saya bisa tinggal di sini selamanya. OK, mungkin tidak selamanya, tapi pastinya beberapa minggu lagi.
Sayangnya, setelah sarapan kami kembali ke kelotok. Kami mengucapkan selamat tinggal ke Camp Rilis, lalu melanjutkan perjalanan. Satu setengah jam kemudian, kami tiba di sebuah camp kecil, Rantau Upak.
Rantau Upak juga dibangun sebagai sebuah camp monitoring, terutama untuk memonitor, menemukan, dan memerangi kebakaran hutan. Selain itu, Sumadi, staf kami yang berbasis di Rantau Upak, juga mengumpulkan data cuaca dan iklim. Data tersebut membantu kami memprediksikan waktu yang tepat untuk meningkatkan aktifitas monitoring, misalnya pada musim kemarau.
Rantau Upak ke Batampang
Melanjutkan perjalanan kita, akhirnya kami keluar dari kanal yang berjalin-jalin, menuju salah satu sungai besar di Kalimantan, Sungai Barito. Kami tidak lagi berada di Kabupaten Kapuas, namun sudah di Kabupaten Barito Selatan. Kenyataan bahwa diperlukan dua hari bagi kami untuk dapat mencapainya, menunjukkan ekstensifnya wilayah kerja Program Konservasi Mawas. Sangat luas dan besar!
Karena kami sekarang berada di sungai besar, kami dapat kembali menggunakan speedboat. Sumadi mengantarkan kami ke sebuah desa kecil di tepi sungai, di mana kami bersantap siang di sebuah warung sederhana sambil menanti speedboat yang kami sewa tiba. Sambil naik ke speedboat tersebut, kami mengucapkan selamat tinggal pada Samsul, Udin, Indra, dan Sumadi yang kembali ke stasiun mereka dengan menggunakan kelotok. Pemberhentian terakhir kami dari empat hari perjalanan ini adalah Desa Batampang.
Desa Batampang
Sayang sekali desa ini sedang kebanjiran saat kami tiba. Alih-alih tampak seperti desa yang berada di tepi sungai seperti desa-desa lain yang pernah kami kunjungi atau lewati sepanjang perjalanan ini, Batampang nampak seperti sebuah desa terapung di tengah genangan air yang luas. Jalan kerikil di tengah desa terendam air setinggi lutut.
Lebih menyedihkan lagi, banjir menjadi hal yang umum bagi penduduk Batampang semenjak hutan di hulu sungai ditebangi secara besar-besaran. Bagi mereka, dampak deforestasi tidak sekedar teori di buku-buku pelajaran atau berita di koran-koran. Bagi mereka ini sangat nyata. Banjir terjadi secara teratur. Karena sering banjir, mereka tidak dapat bertani. Sayur-sayuran dan buah-buahan menjadi sukar didapatkan. Mereka harus membeli komoditas berharga ini di kota terdekat, yaitu Buntok, sekitar 3 – 4 jam dengan menggunakan kelotok.
Bermalam di rumah penduduk semalam, kami mencicipi menu sehari-hari mereka saat Serla – tuan rumah – menyuguhkan makan malam kami yang hanya terdiri dari ikan dan nasi. Ini sangat menyedihkan bagi saya, sangat jauh dari kenyamanan yang biasa saya temukan. Rumah ini sendiri, walaupun sangat bersih, tidak memiliki kamar mandi. Ada sebuah ruang kecil di belakang yang berlantaikan kayu, yang salah satu sudutnya sedikit terbuka yang digunakan bagi para wanita untuk buang air kecil di malam hari. Lain dari itu, kita harus pergi ke toilet umum di sungai. Harus diakui, kemampuan saya menyesuakan diri dalam hal kenyamanan sangat diuji dalam keadaan ini. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak mandi hari itu dan hanya pergi ke toilet jika benar-benar terpaksa.
Kondisi desa yang seperti ini semakin menekankan pentingnya kegiatan pemberdayaan masyarakat di area tersebut. Didanai oleh Danish International Development Agency (DANIDA) dan BOS Swiss, Tim Mawas memprakarsai sebuah proyek penguatan kapasitas masyarakat dan proyek kredit mikro (micro finance) bagi penduduk Batampang. Perkembangan kegiatan ini lambat karena adanya bajir musiman, namun demikian usaha pemberdayaan masyarakat terus berlangsung. Kelompok-kelompok kerja telah dibentuk dan kegiatan sosialisasi dijadwalkan untuk dimulai sesegera mungkin, setelah banjir reda.
Baca juga: PETUALANGAN DI MAWAS (EPS3), CAMP TUANAN KE CAMP RILIS
Akhir Petualangan
15 Januari 2013. Keesokan paginya, kami dijemput oleh taksi air – sebuah sarana transportasi antar-desa di Kalimantan – menuju Buntok. Setelah mandi sepuasnya di kantor kami di Buntok dan dilanjutkan makan siang, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Palangka Raya di hari yang sama.
Proyek kredit mikro yang didanai BOS Swiss di Desa Batampang juga dijalankan di Desa Timpah, yang kami kunjungi dalam perjalanan pulang dari Buntok ke Palangka Raya. Ini akan menjadi update terakhir yang akan saya ceritakan di “Seri Mawas” ini. Bersiaplah untuk membacanya di website kami beberapa minggu ke depan.
Saya harap tidak membuat kalian bosan dengan menceritakan detail perjalanan ini. Saya pikir banyak di antara kalian yang saat ini sedang duduk di depan gadget yang terkoneksi internet, membaca cerita ini. Kalian adalah sedikit orang yang memperoleh keistimewaan berupa pendidikan yang baik dan telah terbiasa dengan kenyamanan modern, sama seperti saya. Tujuan utama saya bercerita panjang lebar ini untuk membuat kalian paham bahwa Mawas adalah sebuah program penting untuk menunjukkan besarnya usaha konservasi yang harus dilakukan untuk melindungi sumber daya alam kita yang berharga. Sadari pula betapa pentingnya bagi kita – orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang kita beli – untuk mengubah dan menyesuaikan gaya hidup kita di manapun, sehingga kita dapat terus menikmati kenyamanan hidup modern kita, tanpa rasa bersalah.
Sementara program rehabilitasi dan reintroduksi orangutan harus terus dilanjutkan, kami harap program ini hanya solusi jangka pendek. Program-program seperti Mawas dan juga RHOI (Restorasi Habitat Orangutan Indonesia) menyediakan solusi jangka panjang dan berkelanjutan untuk masa depan orangutan dan habitatnya.
Terus ikuti cerita-cerita Mawas di minggu-minggu yang akan datang.