DUA BAYI ORANGUTAN DISELAMATKAN DI SAMBOJA
Esa dan Indri adalah dua bayi orangutan yang baru-baru ini diselamatkan oleh Yayasan BOS dan BKSDA Kalimantan Timur. Keduanya kini ditempatkan di Pusat Rehabilitasi Samboja Lestari.
Seperti biasa, perjalanan tim fenologi kami yang akan melakukan studi di transek Lembu, terhalang oleh hujan. Hari itu, kami akan melakukan studi fenologi untuk mencari data sebanyak mungkin di transek tersebut dan akan menginap selama dua malam di kamp sederhana di tepi sungai Lembu. Fenologi adalah cabang dari ilmu ekologi yang mempelajari fase-fase yang terjadi secara alami pada tumbuhan. Di Hutan Kehje Sewen, pengambilan data fenologi dilakukan setiap bulan di mana tim PRM (Post Release Monitoring) mencatat kapan pohon berbunga, berbuah, dan lain-lain. Tujuan pengambilan data fenologi salah satunya untuk menentukan di mana dan kapan sebaiknya melepasliarkan orangutan.
Ini pertama kali saya ikut, jadi sama sekali tidak ada bayangan apa yang bakal kami butuhkan di sana. Jadi saya coba bawa sebanyak mungkin beras, mie, sarden, kudapan, dan segala hal yang bisa kami makan.
Akhirnya, hujan berhenti setelah waktu makan siang, dan kami segera berangkat. Saya bersama Rusda dan Handoko berjalan menuju kamp fenologi Lembu mengikuti jalur di sepanjang sungai. Sampai saatnya kami harus menyeberang, saya harus melepaskan kaus kaki dan menggulung celana, siap berbasah-basah! Sebenarnya jarak ke kamp tidak terlalu jauh, namun karena perjalanan mengikuti liku-liku sungai, termasuk menyeberanginya, memanggul barang dan perbekalan yang lumayan banyak membuat kami tidak bisa berjalan terlalu cepat.
Berjalan perlahan menyeberangi sungai dengan kaki telanjang sembari meraba bebatuan yang licin, saya tahu bahwa satu saat kita pasti tergelincir! Untungnya permukaan air tidak terlalu tinggi, sangat berbeda dengan cerita Rusda yang mengatakan, di musim hujan, mereka sempat mengarungi sungai dengan air setinggi dada. Kali ini hanya setinggi kaki kami.
Bagian tersulit perjalanan ini justru saat kami kembali menempuh jalan setapak di tepi sungai, karena saya harus kembali berurusan dengan lintah! Tanpa mengenakan kaus kaki sepak bola yang panjangnya selutut dan menutupi celana panjang saya, mahluk-mahluk licin menyebalkan ini akan dengan mudah menyelinap dan berpesta pora di kaki saya. Jadi, saat kami harus kembali berjalan di jalur yang lembab dan licin, saya lebih memilih untuk mengenakan kaus kaki yang basah, ketimbang ditempeli penghisap darah ini. Saya menikmati perjalanan ini sembari menghirup aroma khas hutan yang terkadang memberikan petunjuk satwa apa saja yang juga menggunakan jalur ini. Akhirnya, setelah beberapa saat melintasi alam berpanorama indah, kami tiba di kamp Lembu.
Kamp ini hanya terdiri dari konstruksi sederhana terbuat dari batang kayu diatapi oleh terpal dan dilengkapi ranjang beralaskan karung goni sebagai tidur gantung, yang seluruhnya membutuhkan perbaikan. Saya segera memasak kopi, sementara Rusda dan Handoko melakukan perbaikan. Saat kami beristirahat sambil minum kopi, kamp ini telah tampak layak untuk ditinggali sampai dua malam ke depan
Kami memasak nasi dengan sarden untuk makan malam dan setelah itu menanti kegelapan malam datang menyelimuti. Satu hal yang menarik tentang hutan adalah kita dapat mengenali waktu dari bunyi-bunyian yang terdengar, contohnya bunyi jangkrik. Mereka selalu muncul sekitar pukul 6 sore dan segera bernyanyi membahana diiringi suara serangga lainnya. Saat hari telah gelap, tak ada lagi pilihan selain mencari posisi senyaman mungkin dan memejamkan mata sementara kehidupan malam di hutan dimulai
Tidak sulit untuk bangun pukul 5:45 pagi saat kita berada di tengah hutan, karena sebenarnya hutan itu tidaklah tenang dan sepi, melainkan penuh dengan berbagai suara riuh-rendah. Kami segera sarapan, dan mempersiapkan lembar data pengamatan untuk kami pergunakan selama seharian. Setelah berjalan menerobos pekatnya hutan dan melangkahi batang pohon tumbang, kami akhirnya mencapai jalur fenologi yang dituju dan segera mulai mendata daun muda, pohon berbunga, buah yang masak dan belum masak. Kami bekerja selama dua jam sebelum akhirnya muncul satu hal yang sangat khas di hutan hujan tropis, hujan. Hujan membuat kami sulit menengadah untuk mengumpulkan data, jadi kami harus menunggu sampai reda.
Ketika akhirnya hujan mereda, kami melanjutkan pengambilan data. Harus diakui, proses ini terdengar sederhana, namun tak mudah dilakukan. Kami harus bergerak naik-turun bukit, terkadang berpegangan pada tanaman menjulur untuk membantu saat meluncur turun, atau memanjat, dan harus berhati-hati agar tidak sampai salah meraih batang rotan yang berduri!
Sesekali kami mendengar suara gemeresak di pepohonan, dan kami seketika terdiam, menanti apakah sedetik kemudian ada orangutan muncul untuk mengamati kerja kami, tapi hal itu tidak terjadi. Setelah rampung mengumpulkan data, kami kembali menuju kamp, dan kali ini rasanya perjalanan sangat singkat, terutama saat kami tidak memandangi pepohonan! Kembali ke kamp dan mandi di sungai merupakan pelepas lelah yang kami butuhkan dan tak lama kemudian kami kembali menyongsong nyanyian jangkrik, makan malam dan tidur.
Nyanyian lantang owa membangunkan saya keesokan paginya, bersahut-sahutan dan terdengar sangat mengagumkan! Ketika kami memasak sarapan, dua individu owa berayun-ayun mendekati kamp dan mengamati. Setelah puas melakukan pengamatan, keduanya bergegas pergi dan melanjutkan panggilan saling bersahutan dengan owa lain
Hari ini, kami akan mulai melakukan fenologi di wilayah baru, dan daerah ini curamnya minta ampun! Kami bergerak naik-turun mengikuti jalur yang ada dan mencari-cari penanda pohon yang dipasang oleh tim sebelum kami. Satu bagian yang paling menakjubkan dari jalur ini adalah kanopi yang terbuka. Bukaan kanopi ini terjadi akibat tanah longsor yang merubuhkan puluhan pohon dan memunculkan sebuah pemandangan yang luar biasa. Melalui bukaan ini kita bisa mendengar suara parau rangkong di kejauhan, melihat tebalnya rerimbunan pohon di hutan perbukitan seberang dan menikmati hembusan angin yang menyegarkan, satu hal yang jarang kita dapati saat menjelajah di bawah kanopi hutan yang rindang.
Sembari menyeberang lembah, kami melanjutkan proses mengikuti jalur. Untungnya Handoko dan Rusda sangat hafal daerah itu, dan mampu bergerak cepat di antara pepohonan. Setelah bekerja keras mengumpulkan data, mengusir lebah, lintah, dan semut, kami akhirnya menuntaskan pendataan fenologi ini. Kami bertiga kembali ke kamp untuk mengumpulkan barang-barang dan lanjut berjalan menuju Kamp Lesik. Seakan memberkati kami, alam tampak saat sangat bersahabat. Mentari bersinar cerah dan menyinari permukaan sungai, dan ditemani sejumlah capung yang beterbangan di dekat kami dan hinggap di batang kayu atau batu yang terdapat di tepi sungai.
Senang rasanya saat mencapai kamp utama di kamp Lesik. Kami bertiga merasa sangat lelah dan tak sabar ingin segera menyegarkan diri dan berganti pakaian bersih. Tapi secara umum, ini adalah perjalanan yang sangat menyenangkan, berkesan, dan menguras tenaga ke transek Lembu!