Apakah kamu member?

REHABILITASI LAHAN GAMBUT DI MAWAS

Kerusakan hutan dan lahan gambut di Kalimantan telah menyebabkan berbagai tragedi bagi masyarakat setempat. Di Kalimantan Tengah pada khususnya, hilangnya produk hutan kayu dan non-kayu, pencemaran udara yang semakin parah akibat seringnya kebakaran hutan di mana asap dan kabutnya seringkali pula menyebabkan masalah kesehatan, serta menurunnya produktivitas pertanian dan perkebunan dikarenakan banjir di lahan tanaman dan pedesaan akibat kerusakan lahan gambut adalah beberapa masalah utama yang dihadapi masyarakat setempat. Pada skala global kerusakan lahan gambut dalam jumlah yang besar memancarkan emisi karbon ke atmosfer, yang berkontribusi pada pemanasan global.

Memastikan agar lahan gambut tetap basah dan menghentikan kebakaran hutan adalah kunci untuk memecahkan masalah-masalah ini.

Kolaborasi Lintas-Sektor
Program Konservasi Mawas bekerjasama dengan Central Kalimantan Peatland Project (CKPP) pada tahun 2006-2009, Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP) berlangsung sejak tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Kapuas dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, telah terlibat dalam pemulihan fungsi lahan gambut di areal-areal yang rusak. Kerjasama yang berkelanjutan dengan proyek KFCP menargetkan restorasi dan rehabilitasi lahan gambut seluas 120.000 hektar melalui kegiatan reforestasi (penghijauan kembali), pengelolaan kebakaran, penyekatan kanal (canal blocking), pemantauan vegetasi dan pemberdayaan masyarakat. Proyek ini bertujuan untuk mendemonstrasikan project REDD+  yang merupakan singkatan dari “Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation” atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, sebuah upaya global untuk memitigasi perubahan iklim di samping memberikan manfaat sosial dan lingkungan kepada negara-negara tropis yang kaya akan hutan.

Provinsi Kalimantan Tengah dihuni oleh sekitar 2,5 juta orang dan tingkat populasi ini meningkat sebesar dua persen setiap tahunnya. Sebagian besar penduduknya tinggal di pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Di Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, sebagian besar penduduknya adalah petani karet. Sumber kehidupan nomor dua terpenting di sini adalah ekstraksi kulit pohon gemor (Alseodaphne coriacea) untuk dibuat menjadi kumparan anti-nyamuk. Mereka hidup di tepi Sungai Kapuas yang sangat mereka andalkan untuk mencuci, memancing dan juga sebagai jalur transportasi. Katunjung adalah salah satu dari tujuh desa di mana kegiatan restorasi ini diimplementasikan.

Lumbung Masalah
Obrolan hangat ditemani segelas kopi dan hidangan kue-kue lokal di kediaman Bapak Sugiat – salah seorang anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Katunjung – telah membuka mata terhadap kompleksnya kegiatan restorasi ini.

Kerusakan hutan gambut yang penting dan fungsi hidrologi di kawasan ini berawal dari Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) bertajuk “Sejuta Hektar Lumbung Beras” pada era Suharto (antara tahun 1996-1999) di mana dibangun kanal-kanal untuk mengeringkan areal gambut sehingga lahan tersebut dapat dibudidayakan sebagai lahan pertanian. Selain itu juga dibangun sejumlah tatas, yaitu parit buatan yang awalnya berfungsi untuk menghubungkan sungai atau kanal dengan kawasan hutan sehingga masyarakat mudah mengambil kayu di hutan. Hasilnya sangat mengenaskan. Lahan gambut menjadi rawan kekeringan sekaligus rawan banjir. “Sejuta Hektar Lumbung Beras” akhirnya menjadi lumbung masalah.

Penabatan (Penyekatan Tatas)
Setelah memahami permasalahan di atas, maka tujuan utama dari kegiatan rehabilitasi lahan gambut di Mawas adalah untuk memulihkan fungsi hidrologi area gambut tersebut dengan cara mengisi tingkat air pada kanal-kanal dan tatas untuk membasahi gambut. Bersama masyarakat, kami melakukannya dengan membangun bendungan kecil secara traditional yang disebut tabat di berbagai titik kritis di sepanjang tatas. Dari perubahan kecil terhadap desain parit tatas ini, didapatkanlah sistem waduk sederhana.

Waduk ini akan menyebabkan ketinggian permukaan air menjadi stabil dan melimpahkan air ke daerah-daerah kritis yang pada akhirnya akan mencegah kekeringan dan kebakaran di musim kemarau. Tatas juga tetap dapat digunakan untuk mengakses produk hutan non-kayu seperti rotan, kulit gemor, dan kulit damar. Selain itu, di sekitar tabat pun ditanami dengan jenis-jenis pohon endemik yang bernilai ekonomis untuk penghijauan kembali serta untuk mencegah banjir di musim hujan.


Lahan gambut harus selalu basah oleh Rini Sucahyo

Monumen REDD+ untuk memperingati kolaborasi lintas sektor ini oleh Rini Sucahyo

Pak Sugiat (kiri) dengan beberapa warga Desa Katunjung oleh Rini Sucahyo

Apa yang diimpikan sebagai lumbung beras, menjadi lumbung masalah oleh Rini Sucahyo

Salah satu tatas yang sudah jadi di Tuanan oleh Rini Sucahyo

Proses yang panjang untuk sosialisasi, konsultasi, dan pelatihan oleh Rini Sucahyo

Warga desa bekerjasama untuk penabatan (pembuatan pintu air) oleh Rini Sucahyo

Setelah tatas selesai dibuat, kemudian ditanami dengan pohon-pohon endemik oleh Rini Sucahyo

Proses yang Panjang
Teorinya sederhana, namun pada pelaksanaannya, proyek ini memerlukan serangkaian kegiatan yang memakan waktu panjang, diawali dengan kegiatan-kegiatan sosialisasi di ketujuh desa serta pendekatan personal kepada para pemilik tatas di masing-masing desa untuk menyampaikan rencana pembuatan tabat (penabatan) serta memperoleh informasi dan masukan terkait rencana tersebut.

Setelah itu, melalui beberapa rapat desa, ditentukanlah target penabatan dan survei areal secara menyeluruh untuk melakukan pengukuran dan mendapatkan data dimensi tatas di setiap blok. Kemudian, kembali dilakukan sosialisasi dan musyawarah dengan para pemilik tatas mengenai hasil survei dan finalisasi target penabatan. Di tahap ini, para pemilik tatas memiliki hak untuk mundur atau tidak mau tatas-nya di-tabat. Tidak ada unsur paksaan sama sekali. Keterlibatan dilakukan secara sukarela.

Setelah semua proses tersebut selesai, tim Mawas pun memberikan pelatihan teknis. Sementara itu, para perempuan di desa tersebut dilibatkan untuk mulai melakukan pembibitan jenis-jenis pohon yang akan ditanam. Barulah kemudian implementasi penabatan tatas dan reforestasi dapat dilaksanakan. Pekerjaan tidak selesai sampai di situ. Pohon-pohon yang ditanam tentunya harus dipelihara dan dipastikan tumbuh dengan baik sehingga tujuan yang diharapkan – yaitu mencegah kekeringan, kebakaran dan banjir, memperbaiki kondisi hutan, dan juga meningkatkan ekonomi masyarakat – dapat direalisasikan.

Saat ini, proses rehabilitasi lahan gambut di Mawas melalui proyek KFCP sudah mencapai tahap akhir. Di tahun 2013 ini, kegiatan pembibitan sudah berjalan di ketujuh desa, yaitu Kalumpang, Katimpun, Sei Ahas, Katunjung, Tumbang Muroi, Petak Puti, dan Mantangai Hulu. Kini, kami masuk ke tahap penabatan dan penanaman. Diharapkan, kegiatan penabatan dan penanaman ini selesai di pertengahan tahun ini. Setelah itu, kami akan melanjutkan dengan tahap pemeliharaan sambil terus melakukan penyempurnaan jika dibutuhkan.

Betapa rumitnya proses rehabilitasi lahan gambut. Betapa mudahnya manusia merusak hutan, tanpa berpikir panjang akan konsekuensinya. Itu sebabnya kegiatan rehabilitasi lahan gambut di Mawas sangatlah penting untuk terus melestarikan ekosistem unik ini demi keberlanjutan semua makhluk hidup dan tentunya kesejahteraan umat manusia.




Menurutmu orang lain perlu tahu? Bagikan!

image image image

CATATAN!



OK

YA, AMPUN!



Tutup