Apakah kamu member?

PETUALANGAN DI MAWAS (EPS3), CAMP TUANAN KE CAMP RILIS

13 Januari, 2013. Untuk dapat melanjutkan perjalanan ke tujuan kami berikutnya – Camp Rilis – kami harus kembali ke Mantangai karena Camp Rilis tidak dapat diakses dengan speedboat. Kanal-kanal menuju Camp Rilis yang sempit dan dipadati pepohonan hanya dapat dilalui oleh kelotok, perahu kayu panjang tradisional Dayak. Oleh karena itu, kami harus kembali ke Mantangai untuk mengganti alat transportasi kami.

Tommy dan Sofi tidak ikut bersama kami kali ini. Kami meninggalkan mereka di Tuanan karena mereka masih punya pekerjaan yang harus diselesaikan di sana. Duduk bersila di antara supir kelotok, tas yang ditumpuk di belakang supir, dan para anggota perjalanan yang lain, saya harus mengakui bahwa pada mulanya, duduk di kelotok itu tidak nyaman. Sepuluh menit kemudian kaki saya mulai kesemutan dan punggung mulai pegal karena duduk tegak. Namun kemudian saya menyadari bahwa kalau saya berputar, saya dapat duduk bersandar ke tumpukan tas dan ada sedikit ruang untuk meluruskan kaki. Jadi saya duduk seperti itu, sambil nyengir dengan perasaan bersalah ke arah Odom, Sungkono, dan Kurniawan karena mereka tidak dapat melakukan hal yang sama. Sisa perjalanan pun dapat dilalui dengan nyaman. Setidaknya untuk saya.

Perjalanan dari Mantangai ke Camp Rilis memakan waktu 1,5 jam. Kanal-kanal saling bersilangan membentuk labirin yang membingungkan dengan pohon rasau membatasi pinggirannya. Pohon Rasau (Pandanus helicopus) adalah pohon yang mirip dengan pandan, tapi lebih besar dan penuh duri. Kami harus menunduk dan bergerak ke kiri dan ke kanan untuk menghindari duri-durinya. Seseorang yang sudah kenal daerah akan sangat diperlukan untuk menuntun jalan, kalau tidak, bisa-bisa kami tersesat atau menabrak pepohonan berduri tersebut.

Persembunyian yang Sempurna
Camp Rilis adalah tempat favorit saya di Mawas. Dibangun di atas rawa berair hitam yang kaya nutrisi dan dikelilingi oleh hutan gambut yang lebat, Camp Rilis adalah tempat persembunyian yang sempurna. Pondok kayu yang besar didisain untuk menyatu dengan sekelilingnya, dengan sebuah dermaga dan ‘garasi’ yang dapat menampung 3-4 kelotok.

Ada lima kamar, dua kamar mandi dengan shower, teras yang mengarah ke pemandangan indah di hutan dan kanal, dan ruang tengah dan ruang makan yang luas, listrik tenaga surya di siang hari dan generator listrik jika diperlukan di malam hari. Di tempat ini, ada banyak sekali ikan. Coba tebak, apa makan siang dan malam kami hari itu? Ikan segar hasil tangkapan sendiri!

Camp Rilis dibangun untuk mengakomodasi orangutan liar dan semi-liar yang baru diselamatkan dari daerah konflik untuk dirilis ke habitat yang aman dan alami, dalam hal ini, Mawas. Di masa lalu, sekitar 148 orangutan telah ditranslokasikan di sini. Tapi setelah populasi orangutan di daerah ini diperkirakan sudah memenuhi kapasitas, kami harus mencari daerah lain. Saat ini kami memindahkan orangutan liar ke tempat lain di Kalimantan Tengah, dan orangutan semi-liar dan rehabilitan ke Hutan Lindung Bukit Batikap.

Camp Rilis kemudian sempat digunakan sebagai tempat riset oleh National University of Singapore selama dua tahun. Namun setelah itu, Camp Rilis lebih banyak digunakan sebagai camp transit untuk anggota tim Mawas dan tempat persinggahan staff proyek KFCP. Pak Atu Juhani dan istrinya, Bu Acin, tinggal di sini untuk mengurus Camp Rilis.

Baca juga: PETUALANGAN DI MAWAS (EPS2), DARI MANTANGAI KE TUANAN


Mengganti moda transportasi menjadi kelotok oleh Rini Sucahyo

Naik kelotok menyusuri kanal-kanal sempit oleh Rini Sucahyo

Camp Rilis, tempat persembunyian yang sempurna oleh Rini Sucahyo

Di Camp Bagantung (kiri ke kanan: Indra, Samsul, Udin, Rini, Pak Sungkono) oleh Rini Sucahyo

Sebagian area Mawas setelah kebakaran hutan oleh Rini Sucahyo

Camp Bagantung
Setelah makan siang yang singkat namun lezat, Sungkono dan Kurniawan meminta saya untuk naik ke kelotok lagi. Kami akan mengunjungi Camp Bagantung, sekitar satu jam perjalanan dari Camp Rilis dengan kelotok yang dikemudikan oleh staf kami, Samsul. Di Camp Bagantung, Saya bertemu Udin, yang merupakan anak Pak Atu, Indra, dan dua staf Mawas yang bertugas di camp ini.

Bekerjasama dengan Universitas Wageningen di Belanda, Camp Bagantung didirikan sebagai pusat riset lahan gambut dan hidrologi. Walaupun proyek ini pada akhirnya dihentikan, namun kami masih melakukan kegiatan pengumpulan data, termasuk data iklim dan ketinggian air sungai. Camp ini juga berfungsi sebagai camp monitoring, terutama monitoring aktivitas pembalakan liar dan kebakaran hutan.  Saya akan menulis tentang ini dengan lebih detail dalam beberapa minggu ke depan. Saya harap kalian akan tetap berada di sini karena ceritanya juga penuh petualangan. Bocoran cerita: kami tersesat di kegelapan dalam perjalanan pulang ke Camp Rilis!

Sementara untuk perjalanan ini, saya akan lanjutkan ceritanya besok dalam “Berpetualang di Mawas – Bagian 4”




Menurutmu orang lain perlu tahu? Bagikan!

image image image

CATATAN!



OK

YA, AMPUN!



Tutup