TEMON & LAHEI MENGGEBRAK ATURAN HUTAN
Masih ingat dengan kisah Temon dan Lahei yang sempat menghilang dari sekolah hutan?
Jika kita amati lebih lanjut, tidak semua perilaku orangutan terlihat sama. Salah satu perbedaan mencolok yang kerap luput dari perhatian ialah antara orangutan liar dan orangutan yang telah menjalani proses rehabilitasi. Meski berasal dari spesies yang sama, perbedaan latar belakang kehidupan seperti tempat lahir, di mana mereka tumbuh memiliki peran besar dalam membentuk perilaku mereka.
Orangutan rehabilitan menunjukkan perilaku yang sangat berbeda dibandingkan dengan orangutan yang lahir dan besar di alam liar. Perbedaan tersebut terlihat dari toleransi mereka yang lebih tinggi terhadap manusia, sedangkan orangutan liar tidak. Hal ini terjadi karena mereka terbiasa berinteraksi dengan manusia sejak kecil, baik selama proses penyelamatan, perawatan medis, maupun dalam pengasuhan sehari-hari di pusat rehabilitasi.
Baca juga: APAKAH ORANGUTAN JUGA BEREMPATI?
Selain itu, orangutan liar umumnya memiliki pengetahuan yang lebih luas dan naluriah tentang sumber makanan alami di hutan. Sebaliknya, orangutan yang lahir di pusat rehabilitasi membutuhkan waktu lebih lama dan pelatihan khusus untuk mengembangkan perilaku mencari makan yang tepat.
Baca juga: TEMON DAN LAHEI MENGHILANG!
Perilaku berbeda lainnya terdapat pada kemampuan mereka dalam membuat sarang. Orangutan liar mempelajari hal ini langsung dari induknya. Namun, orangutan rehabilitan sering kali membuat sarang yang kurang baik di awal. Mereka harus belajar dari pengamatan selama berada di "sekolah hutan". Pembelajaran tersebut yang kemudian juga membentuk perilaku sosial orangutan rehabilitan. Meskipun alaminya orangutan adalah spesies semi-soliter, perilaku sosial mereka di pusat rehabilitasi mencerminkan lingkungan sosial yang berbeda sejak dini.
Orangutan yang lahir di alam liar mempelajari keterampilan bertahan hidup langsung dari induknya di habitat alami. Sementara itu, orangutan yang lahir di pusat rehabilitasi tumbuh di lingkungan yang telah dimodifikasi manusia. Orangutan yang lahir di pusat rehabilitasi tidak memiliki pengalaman awal yang mencerminkan kompleksitas kehidupan liar. Oleh karenanya, mereka mengembangkan perilaku melalui proses belajar terstruktur seperti sekolah hutan, bukan melalui naluri atau pengasuhan alami dari induk.
Baca juga: BERTEMU ORANGUTAN LIAR DI TUANAN
Meskipun begitu, orangutan yang dibesarkan di pusat rehabilitasi dan orangutan yang dibesarkan di alam liar memiliki kemampuan hidup yang relatif sama. Sebagai salah satu contoh, orangutan yang dibesarkan di pusat rehabilitasi dan masih bertahan hidup sampai saat ini adalah Lesan. Sebagai bonus dari keberhasilan program rehabilitasi yang dijalaninya, ia bahkan sudah memiliki dua anak dan mampu mengajarkan anaknya untuk bertahan hidup di alam liar. Meskipun jika diamati lebih lanjut perilaku Lesan dan kedua anaknya berbeda ketika berhadapan dengan tim observer kami. Lesan lebih tenang dan seakan terbiasa dengan keberadaan observer kami, sedangkan anaknya yaitu Ayu lebih defensif dan bersikap protektif. Jika sudah seperti ini, tim post-release monitoring (PRM) kami akan menjaga jarak yang aman selama proses observasi.
Baca juga: BAGAIMANA ORANGUTAN BERKOPULASI
Contoh lainnya ialah orangutan Indie, Padma, dan Hiran. Tiga anak-anak orangutan tersebut adalah anak-anak dari orangutan Inung, Sayang, dan Hilda. Melihat perkembangan ketiganya di alam liar menunjukkan bahwa induk orangutan rehabilitan juga memiliki kemampuan untuk mengajarkan anaknya cara bertahan hidup meski memang kemampuan yang mereka dapatkan mulanya tidak sesempurna orangutan yang naluriah lahir di alam. Selain mereka, orangutan Mardianto juga menunjukkan ketangguhannya di alam liar.Ia dilepasliarkan pada 2015 dan belum memiliki cheekpad atau bantalan pipi saat itu, tetapi lihatlah dirinya kini. Ia telah tumbuh menjadi pejantan dominan yang menjelajahi Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR).
Memahami perbedaan antara orangutan rehabilitan dan orangutan liar sangat penting untuk merancang program pelepasliaran dan post-release monitoring yang efektif. Pengetahuan ini juga membantu tim konservasi merancang tahapan pelatihan yang sesuai untuk memastikan bahwa orangutan benar-benar siap bertahan di alam bebas.
Selain itu, kesadaran ini mengingatkan kita bahwa orangutan yang lahir di pusat rehabilitasi menghadapi tantangan yang lebih besar untuk beradaptasi dengan kehidupan di alam liar, dan oleh karena itu membutuhkan dukungan, pemantauan, serta manajemen adaptif secara berkelanjutan.
Sebagai bukti keberhasilan, Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS) sendiri kini telah berhasil melepasliarkan 549 individu orangutan dan dari pelepasliaran tersebut, terdapat 36 kelahiran bayi baru di situs-situs pelepasliaran, baik di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.